Hamdan Zoelva, S.H., M.H
Pendahuluan
Era reformasi yang dimulai pada tahun 1999, membawa perubahan-perubahan
yang mendasar dalam sistem pemerintahan dan ketatanegaraan kita sebagaimana
nampak pada perubahan yang hampir menyeluruh atas Undang Uundang Dasar 1945.
Perubahan undang-undang dasar ini, sebenarnya terjadi demikian cepat tanpa
dimulai oleh sebuah perencanaan panjang. Hal ini terjadi karena didorong oleh
tuntutan perubahan-perubahan yang sangat kuat pada awal reformasi antara lain
tuntutan atas kehidupan negara dan penyelenggaraan pemerintahan yang lebih
demokratis, penegakan hukum yang lebih baik, penghormatan atas hak-hak asasi
manusia dan berbagai tuntutan perubahan lainnya.
Terhadap berbagai tuntutan tersebut para anggota MPR meresponsnya dengan
memulai perubahan terhadap sesuatu yang mendasar yaitu perubahan Undang Undang
Dasar 1945. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa salah satu sumber
permasalahan yang menimbulkan problem politik dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara selama ini adalah karena kelemahan Undang Undang Dasar 1945
antara lain:
Tidak adanya prinsip check and balances dalam UUD 1945 antara lain
menyerahkan kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan
kedaulatan rakyat;
UUD 1945, terlalu fleksibel menyerahkan penyelenggaraan negara pada
semangat para penyelenggara negara yang dalam pelaksanaannya banyak
disalahgunakan;
Pengaturan mengenai hak asasi manusia yang minim, serta
Kurangnya pengaturan mengenai pemilu dan mekanisme demokrasi.
Oleh karena itu, perubahan UUD 1945 yang pertama pada sidang umum tahun
1999, terjadi dalam waktu yang sangat singkat yaitu hanya sekitar satu minggu
perdebatan pada tingkat Panitia Ad Hoc, menghasilkan perubahan penting terhadap
9 pasal yang terkait dengan penyeimbangan kedudukan Presiden dengan DPR.
Walaupun demikian, kalau kita kembali melihat sejak awal pemerintahan
Presiden Habibie ide perubahan UUD 1945 telah dimulai dan bahkan pernah
dibentuk sebuah panitia yang diketuai oleh Prof.DR. Bagir Manan untuk mengkaji
perubahan UUD 1945 dan telah melakukan serial diskusi yang cukup panjang dan
menghasilkan berbagai pemikiran terhadap perubahan undang-undang dasar ini
dalam sebuah buku. Karena itu, ketika perdebatan pada MPR mengenai perubahan
undang-undang dasar ini sebagian besar fraksi telah menyiapkan rancangan
perubahan yang menyeluruh atas undang-undang dasar 1945 itu. Karena waktu yang
tidak memungkinkan, perubahan pertama itu hanya terjadi terhadap beberapa pasal
yang terkait dengan pembatasan kekuasaan Presiden dan penguatan DPR, dan
perubahan lainnya dicadangkan pada sidang tahunan berikutnya.
Karena begitu luasnya perdebatan awal ketika memulai perubahan ini, untuk
menghindari disorientasi dalam perubahan-perubahan yang akan dilakukan, seluruh
fraksi di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada saat itu menyepakati lima
prinsip yaitu:
tidak mengubah pembukaan Undang-Undang Dasar 1945;
tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
mempertegas sistem pemerintahan presidensil;
penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam penjelasan
dimasukkan ke dalam pasal-pasal;
perubahan dilakukan dengan cara adendum.
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), yang telah dilakukan selama 4 kali Perubahan Pertama tahun 1999, Perubahan Kedua tahun 2000, Perubahan Ketiga tahun 2001 dan Perubahan Keempat tahun 2002, telah membawa implikasi politik yang sangat luas dalam sistem ketatanegaraan Indoneisa.

Keempat perubahan ini, mencakup aspek yang sangat luas dan mendalam baik
dari jumlah pasal yang diubah dan ditambah maupun dari substansi perubahan yang
terjadi. UUD 1945 sebelum perubahan hanya terdiri dari 16 bab, 37 pasal dan 47
ayat ditambah 4 pasal Aturan Peralihan dan 2 ayat Aturan Tambahan. Setelah 4
kali perubahan, UUD 1945 menjadi 20 bab, 73 pasal, 171 ayat ditambah 3 pasal
Aturan Peralihan dan 2 pasal Aturan Tambahan. Substansi perubahan menyentuh
hal-hal yang sangat mendasar dalam sistem politik dan ketatanegaraan yang
berimplikasi pada perubahan berbagai peraturan perundangan dan kehidupan politik
Indonesia di masa depan. Dalam kerangka inilah berbagai perundang-undangan baru
bidang politik disusun, yaitu UU Partai Politik, UU Pemilu Legislatif dan
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta UU Susunan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD).
Reduksi Kewenangan MPR (Memperkuat Demokratisasi)
Terdapat dua perubahan mendasar pada MPR, setelah perubahan yaitu perubahan
susunan keanggotaan serta perubahan kewenangan MPR, yang berimplikasi pada
perubahan dalam tata hubungannya dengan lembaga-lembaga negara yang lainnya.
Keanggotaan MPR
Sebelum perubahan, keanggotaan MPR terdiri dari Anggota DPR ditambah dengan
Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Merujuk pada masa Orde Baru anggota MPR berjumlah
1000 orang yang terdiri dari 500 anggota DPR (400 orang yang dipilih melalui
pemilu dan 100 dari ABRI yang diangkat), 5 orang utusan daerah dari setiap
propinsi (yaitu 160 untuk 27 Provinsi), dan sisanya adalah utusan golongan.yang
berjumlah 340 orang. Dari susunan keanggotaan tersebut nampak sekali bahwa
terdapat 440 orang anggota MPR yang diangkat Presiden, 160 yang dipilih oleh
DPRD dari 27 provinsi (pada periode ini Utusan Daerah bergabung dalam satu
fraksi tersendiri sedangkan utusan Golongan melebur dalam fraksi Partai Politik
yang ada) dan 400 orang yang dipilih dalam pemilu. Konfigurasi keanggotaan ini
menunjukkan dominasi Presiden yang sangat kuat terhadap MPR.
Pada masa reformasi sekarang ini, sejak kejatuhan Soeharto, keanggotaan
MPR, diubah lagi yaitu hanya terdiri dari 700 orang dimana jumlah yang diangkat
oleh Presiden hanya 69 orang anggota Utusan Golongan yang dipilih oleh Komisi
Pemilihan Umum (KPU), (dalam pengangkatan ini Presiden hanya mengesahkan secara
administratif sebagai Kepala Negara, yaitu sama dengan pengangkatan
anggota Utusan Daerah yang dipilih oleh DPRD Provinsi dan Anggota DPR yang
dipilih dalam Pemilu). Perubahan ini membawa implikasi pada betapa minimnya
pengaruh Presiden terhadap MPR.
Setelah Perubahan UUD, anggota MPR hanya terdiri dari anggota DPRÂ (sekarang
berjumlah 550 orang) dan anggota DPD yang merupakan wakil dari daerah-daerah
(sekarang 4 orang setiap provinsi) yang dipilih secara langsung dalam pemilu
oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. Tidak ada lagi anggota MPR yang
diangkat.
Perubahan ini memperbaiki susunan anggota MPR, sehingga lebih demokratis
dan lebih menunjukan representasi rakyat yang lebih jelas dalam lembaga
perwakilan.
Kewenangan MPR
Kewenangan dan status MPR dalam UUD 1945 sebelum perubahan tercermin dalam
pasal 1 ayat 2, yang berbunyi : Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan
dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Lebih lanjut kewenangan MPR adalah menetapkan Undang Undang Dasar dan
Garis-Garis Besar daripada Haluan Negara (diatur dalam pasal 3), mengangkat
Presiden dan Wakil Presiden (pasal 6 ayat 2), kemudian diperkuat oleh
Penjelasan UUD 1945.
Ketentuan ini menunjukkan dengan jelas bahwa posisi MPR sangat dominan
dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, yaitu sebagai pelaksana sepenuhnya
kedaulatan rakyat. Ketika MPR terbentuk seakan-akan kedaulatan rakyat itu
diambil alih sepenuhnya oleh MPR dan MPR memegang supreme power dalam
ketatanegaraan Indonesia. Dalam struktur yang demikian MPR ditempatkan sebagai
Lembaga Tertinggi Negara. Hal ini berimplikasi pada hubungan yang tidak
seimbang antara lembaga-lembaga negara (tidak ada check and balances). Siapa
yang dapat mempengaruhi dan mendominasi MPR maka dialah yang paling berkuasa.
Jika Presiden dapat menguasai atau mempengaruhi MPR maka pasti dia sangat
berkuasa (seperti yang terjadi pada masa Orde Baru) dan siapa yang tidak mampu
mendominasi dan menguasai MPR, maka dia akan menjadi sangat lemah (seperti kasus
Presiden Habibie dan Abdurrahman Wahid).
Dalam kerangka pemikiran ini pula seluruh lembaga-lembaga Negara yang lain
harus melapor kepada MPR, karena MPR adalah sumber kekuasaan negara, yang
mendistribusikan kekuasaannya pada lembaga-lembaga negara itu.
Perubahan UUD 1945, telah merubah filosofi dasar sumber kewenangan MPR,
sebagaimana tercermin dalam perubahan pasal 1 ayat 2, yaitu : Kedaulatan di
tangan rakyat dan dijalankan menurut Undang-Undang Dasar?. Implikasi perubahan
ini adalah direduksinya kewenangan MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat
sepenuhnya, menjadi kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut UUD ini, yaitu oleh
lembaga-lembaga negara yang diatur secara jelas kewenangannya dalam UUD.
Presiden menjalankan kedaulatan rakyat, untuk menjalankan pemerintahan negara,
karena dia dipilih langsung juga oleh rakyat. DPR dan DPD menjalankan
kedaulatan rakyat dalam membentuk undang-undang dan mengawasi Presiden.
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi menjalankan kedaulatan rakyat dalam
bidang yudikatif dan peradilan. Bahkan rakyat juga melaksanakan kedaulatannya
secara langsung dalam bentuk memilih Presiden dan Wakil Presidennya secara
langsung. Demikian pula terhadap lembaga-lembaga negara lainnya yang diatur
dalam UUD ini.

Hubungan MPR dengan Lembaga Negara Lainnya
Dengan perubahan ini tidak lagi dikenal lembaga tertinggi dan lembaga
tinggi negara dalam hubungan antar lembaga negara. Semua lembaga negara tidak
ada yang tinggi dan tidak ada yang rendah, akan tetapi kedudukannya dilihat
pada fungsi dan kewenangannya yang diberikan oleh UUD. Karena itu,
lembaga-lembaga negara lainnya tidak lagi melapor kepada MPR, karena MPR tidak
lagi menetapkan garis-garis besar haluan negara untuk dilaksanakan oleh seluruh
lembaga negara yang lainnya.
Kerangka hubungan antar lembaga negara yang dibangun dalam perubahan UUD
ini adalah prinsip checks and balances. Artinya hubungan yang seimbang
antara lembaga Negara yang masing-masing terkontrol oleh yang
lainnya berdasarkan ketentuan UUD.
Secara kelembagaan posisi MPR sebenarnya adalah forum? sidang gabungan
antara anggota DPR dengan anggota DPD. MPR hanya bersidang pada saat-saat
dibutuhkan, yaitu ketika melantik Presiden dan atau Wakil Presiden,
memberhentikan Presiden, mengubah dan menetapkan UUD, serta memilih Wakil
Presiden dalam hal kekosongan jabatan Wakil Presiden. Jadi, tidak ada lagi istilah
Sidang Umum serta Sidang Tahunan MPR, yang ada adalah Sidang MPR. Walaupun
demikian, karena MPR memiliki kewenangan-kewenangan yang mandiri, maka
kedudukannya menjadi sebuah lembaga negara tersendiri.
Setelah perubahan UUD hubungan antara MPR dengan lembaga negara lainnya
hanya terlihat jelas dalam hubungannya dengan Presiden dan Wakil Presiden,
yaitu melantik Presiden dan Wakil Presiden, memberhentikan Presiden dan atau
Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD serta memilih Wakil Presiden dalam
hal kekosongan jabatan Wakil Presiden.
Reposisi Dewan Perwakilan Rakyat
Reposisi DPR, dilakukan dengan maksud agar menempatkan DPR dalam posisinya
sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan di bidang legislatif. Karena
itu DPR, diberikan kekuasaan untuk membentuk undang-undang (pasal 20 ayat (1)).
Sebelum perubahan, kekuasaan membentuk undang-undang ini dimiliki oleh
Presiden (pasal 5 ayat (1) sebelum perubahan). Sedangkan DPR diposisikan
sebagai lembaga negara yang memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang
itu. Kedudukan ini berakibat pada hubungan yang tidak seimbang antara Presiden
dengan DPR, dimana Presiden di samping memegang kekuasaan pemerintahan negara
juga memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Hal ini mengakibatkan pada tidak
seimbangnya kekuasaan Presiden dengan DPR. Padahal DPR sebenarnya adalah
representasi rakyat yang terpilih melalui pemilu. Akibatnya seperti pengalaman
selama masa pemerintahan Orde Baru, Presiden dapat mengabaikan rancangan
undang-undang yang sudah disetujui oleh DPR bersama pemerintah di DPR, dan
rancangan undang-undang itu tidak disahkan.
Perubahan UUD juga mempertegas fungsi pengawasan dari DPR, yaitu berupa hak
interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat (pasal 20A ayat (2)).
Setiap anggota DPR juga diberikan jaminan hak yang kuat dalam konstitusi yaitu
hak mengajukan pertanyaan, usul dan pendapat serta hak imunitas (pasal 20A ayat
(3)). Penegasan ini dimaksudkan untuk memberikan kedudukan hukum yang lebih
kuat bagi kewenangan DPR yang diatur dalam konstitusi. Ketiga hak ini,
sebelumnya hanya diatur dalam undang-undang.
Perubahan penting lain mengenai DPR, adalah diperjelasnya mekanisme
rekruitmen seluruh anggota DPR yang dipilih melalui pemilihan umum. Dengan
demikian tidak ada lagi anggota DPR yang diangkat seperti pada masa yang lalu
yaitu dari ABRI/TNI-POLRI. Perubahan ini memberikan jaminan dan legitimasi yang
kuat kepada DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Sedangkan bagaimana sistem
pemilu untuk memilih anggota DPR, tidak diatur dalam UUD, tetapi diatur dalam
undang-undang. Hal ini memberikan keleluasaan kepada DPR dan Presiden untuk
memilih sistem pemilu yang tepat sesuai keadaan dan kondisi masyarakat.
Persoalan yang paling mendasar bagi sebuah pemilu yang baik adalah sejauh mana
output pemilu itu menghasilkan wakil-wakil yang benar-benar mewakili rakyat,
memahami kepentingan dan hati nurani rakyat.
Kewenangan dan Posisi DPD Dalam Struktur Ketatanegaraan
DPD merupakan lembaga negara yang memiliki kedudukan yang sama dengan DPR
sebagai lembaga perwakilan rakyat. Perbedaannya pada penekanan posisi anggota
DPD sebagai wakil dan representasi dari daerah (provinsi). Setiap anggota DPD
selalu berpikir tentang kepentingan daerahnya tanpa terhambat oleh garis dan
kepentingan partai politik, karena anggota DPD adalah dari perseorangan bukan
wakil partai politik. Pembentukan DPD sebagai salah satu institusi negara yang
baru, adalah dalam rangka memberikan kesempatan kepada orang-orang daerah untuk
ikut mengambil kebijakan dalam tingkat nasional, khususnya yang terkait dengan
kepentingan daerah. Pembentukan ini diharapkan akan lebih memperkuat integrasi
nasional serta semakin menguatnya perasaan kebersamaan sebagai sebuah bangsa
yang terdiri dari daerah-daerah.
Walaupun kedudukan DPD adalah sejajar dengan kedudukan DPR dalam struktur
ketatanegaraan kita, tetapi kewenangannya, baik kewenangan bidang legislasi
maupun bidang pengawasan adalah sangat terbatas. Kewenangan legislasi yang
dimiliki oleh DPD adalah hanya dapat mengajukan kepada DPR dan ikut membahas
rancangan undang-undang yang terkait dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu DPD, memberikan
pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN, RUU yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan dan agama. Apakah DPD memiliki voting right atas RUU yang ikut
dibahasnya itu?. Tidak ditegaskan dalam UUD ini. Akan tetapi jika memperhatikan
ketentuan pasal 20 UUD, maka voting right yang penuh hanya dimiliki oleh DPR.
Dalam bidang pengawasan, DPD melakukan pengawasan atas pelaksanaan berbagai
undang-undang yang ikut dibahas dan diberikan pertimbangan oleh DPD. Namun
kewenangan pengawasan ini menjadi sangat terbatas, karena hasil pengawasan itu
hanya untuk disampaikan kepada DPR untuk bahan pertimbangan dan
ditindaklanjuti.
Akan tetapi pada sisi lain anggota DPD ini memiliki, kedudukan dan
kewenangan yang sama dengan anggota DPR, ketika bersidang dalam kedudukannya
sebagai anggota MPR, baik dalam perubahan UUD, pemberhentian Presiden maupun
pemilihan Wakil Presiden.
Kenggotaan DPD
UUD 1945 (setelah perubahan), hanya menentukan bahwa jumlah
anggota DPD dari setiap provinsi adalah sama dan jumlah seluruh anggotanya
tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR (pasal 22C ayat (2)).
Dengan menetapkan jumlah wakil daerah yang sama dari setiap provinsi pada
keanggotaan DPD, menunjukkan kesamaan status dari provinsi-provinsi itu sebagai
bagian integral dari negara Indonesia. Tidak membedakan provinsi
yang banyak atau sedikit penduduknya maupun yang besar atau kecil wilayahnya.
Penentuan jumlah anggota DPD yang tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota
DPR, mengandung makna bahwa DPD ini ?walaupun kedudukan sama dengan DPR dalam
struktur ketatanegaraan? merupakan lembaga perwakilan yang bersifat
komplementer yang mengakomodasi perwakilan daerah-daerah dalam tingkat nasional.
Anggota DPD dipilih secara langsung oleh rakyat dari setiap provinsi melalui
pemilihan umum.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003, telah mengatur dengan jelas bahwa
anggota DPD, berjumlah 4 orang dari setiap provinsi. Dengan jumlah 32 provinsi
pada saat ini maka jumlah anggota DPD seluruhnya hanya 128 orang sehingga tidak
mencapai sepertiga anggota DPD.
Penguatan Sistem Presidensil dan Reduksi Kewenangan Presiden
Perubahan UUD ini juga, menunjukkan dua hal yang berlawanan dalam mengatur
lembaga Presiden. Pertama, memperkuat posisi Presiden dalam struktur
ketatanegaraan Indonesia. Kedua, mereduksi beberapa kewenangan Presiden
sebagaimana diatur dalam UUD 1945 sebelum perubahan.
Penguatan Sistem Presidensil
Penguatan sistem presidensil terlihat pada mekanisme pemilihan Presiden dan
proses pemberhentian Presiden. Jika pemilihan dan pengangkatan Presiden dan
Wakil Presiden sebelum perubahan UUD dilakukan oleh MPR, maka setelah perubahan
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat
melalui pemilu. Karena dipilih langsung oleh rakyat, Presiden mendapat
legitimasi langsung dari rakyat dan kedudukannya menjadi lebih kuat di hadapan
lembaga negara yang lainnya, walaupun di hadapan MPR. Konsekwensinya, adalah
adanya jaminan bahwa Presiden dan Wakil Presiden akan menduduki masa jabatannya
dalam waktu tertentu (5 tahun) dan tidak mudah diberhentikan hanya karena
dianggap melakukan kebijakan politik yang salah.
Mekanisme Pemberhentian Presiden Dipersulit
Berbeda dengan sistem presidensil yang dianut sebelum perubahan,
menempatkan Presiden di bawah MPR. Karena MPR yang mengangkat Presiden, MPR
juga yang dapat memberhentikan Presiden walaupun dengan alasan-alasan politis
karena Presiden membuat kebijakan yang melanggar haluan Negara. Jadi sistem ini
sebenarnya hampir sama dengan sistem Parlementer yang menganut supremasi
parlemen atas eksekutif. Mekanisme pemberhentian Presiden dalam sistem
sebelumnya dilakukan dengan usulan Sidang Istimewa dari DPR, setalah DPR
menyampaikan Memorandum Pertama dan Kedua kepada Presiden. Atas dasar usulan
DPR itu MPR melaksanakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban
Presiden. Jika Presiden tidak datang memberikan pertanggungjawaban atau
pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR, Presiden bisa diberhentikan oleh MPR.
Dalam proses ini tidak ada pembuktian yuridis oleh institusi peradilan
(yudikatif) untuk memberikan penilaian secara hukum atas kesalahan Presiden
itu.
Dalam sistem baru pasca perubahan UUD, Presiden tidak dapat diberhentikan
hanya karena alasan-alasan politis. Presiden hanya dapat diberhentikan dalam
hal Presiden atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum yang berupa,
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya
serta perbuatan tercela dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan
atau Wakil Presiden (pasal 7A). Demikian juga mekanisme pemberhentian Presiden
harus menempuh mekanisme yang sulit dan panjang, yaitu melalui pengkajian dan
penyelidikan yang dilakukan oleh DPR yang menghasilkan pendapat berupa
keputusan DPR yang mengusulkan pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden
kepada MPR. Sebelum proses pengajuan ke MPR, DPR harus terlebih dahulu meminta
putusan kepada Mahkamah Konstitusi apakah secara yuridis pendapat DPR ini
dibenarkan atau tidak. Jika secara yuridis usulan DPR tidak berdasar, maka
usulan pemberhentian itu tidak dapat dilanjutkan. Sebaliknya kalau secara
yuridis benar, maka DPR melanjutkan usulan itu kepada MPR untuk memutuskannya.
Atas pertimbangannya sendiri MPR dapat memberhentikan atau tidak memberhentikan
Presiden berdasar jumlah dukungan suara anggota MPR. Logikanya, jika usulan
pemberhentian tersebut telah mendapat dukungan kuat dari anggota DPR, maka
dapat dipastikan akan mendapat dukungan kuat dari MPR, karena lebih dari
duapertiga anggota MPR adalah anggota DPR.
Reduksi dan Pembatasan Kewenangan Presiden
Untuk menjaga prinsip check and balances antar lembaga negara, serta
membatasi kewenangan Presiden yang telah diperkuat kedudukannya, kewenangan
Presiden dikurangi dan dibatasi oleh UUD agar tidak disalahgunakan. Reduksi dan
pembatasan kewenangan ini nampak pada, penghapusan kekuasan Presiden membentuk
undang-undang (pasal 5), Pembatasan kekuasaan Presiden untuk
mengangkat duta dan menerima duta negara sahabat dengan mengharuskan adanya
pertimbangan DPR (pasal 13), membatasi kewenangan Presiden menggunakan haknya
untuk memberikan Grasi dan Rehabilitasi yang mengharuskan adanya pertimbangan
Mahkamah Agung (pasal 14 ayat (1)), membatasi kewenangan Presiden dalam
menggunakan haknya untuk memberikan Amnesti dan Abolisi yang mengharuskan
adanya pertimbangan DPR serta mengharuskan Presiden untuk meminta persetujuan
DPR dalam menyatakan perang atau melakukan perjanjian internasional (pasal 11).
Demikian pula dalam hal pembentukan dan pembubaran departemen pemerintah harus
dengan persetujuan DPR (pasal 17 ayat (4)).
Memperkuat Kedudukan Kekuasaan Kehakiman (Yudikatif)
Perubahan UUD ini mengintrodusir lembaga negara yang baru di bidang
yudikatif yaitu Mahkamah Konstitusi yang kedudukannya berada di samping
Mahkamah Agung.
Prinsip Konstitusionalisme
Kekuasaan kehakiman sebagai pilar negara hukum Indonesia mendapat jaminan
yang lebih kuat dalam perubahan UUD ini. Hal ini nampak pada diberikannya
kewenangan untuk melakukan hak uji (materil dan atau formil) atas undang-undang
yang merupakan produk bersama DPR dengan Presiden. Undang-undang yang telah
dikeluarkan oleh DPR dan Presiden dapat dinyatakan tidak berlaku baik
sebahagian maupun keseluruhannya oleh lembaga yudikatif yaitu
Mahkamah Konstitusi. Hak ini sebelum perubahan UUD, tidak diserahkan
kepada kekuasaan yudikatif, yang akibatnya segala produk undang-undang tidak
mungkin dilakukan pengujian oleh lembaga peradilan, sehingga tidak mungkin
dapat dibatalkan kecuali dicabut sendiri oleh DPR bersama Presiden. Dengan
perubahan ini mengantarkan negara ini kepada negara yang menganut prinsip
konstitusinalisme. Artinya segala tindakan dan produk lembaga-lembaga dan
institusi negara harus dapat diuji apakah sesuai atau tidak sesuai dengan
konstitusi berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi.
Prinsip Akuntabilitas pada Peradilan
Dalam rangka menegakkan prinsip akuntabilitas lembaga peradilan, dalam
perubahan UUD ini mengintrodusir lembaga negara yang baru yaitu Komisi Yudisial
yang merupakan bagian dari pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial
adalah sebuah komisi yang dibentuk dengan undang-undang yang memiliki
kewenangan untuk mengawasi dan menegakkan harkat dan kehormatan hakim serta
melakukan rekruitmen awal calon hakim agung yang akan diajukan kepada DPR untuk
dipilih. Walaupun komisi ini merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman, akan
tetapi merupakan sebuah lembaga pengawasan eksternal terhadap para hakim
pengadilan. Komisi ini yang akan menilai kinerja para hakim, dapat mengajukan
usulan promosi, demosi atau sanksi kepada para hakim. Keanggotan komisi ini
akan dipilih oleh DPR dan diangkat oleh Presiden. Pembentukan lembaga ini
dirasakan pentingnya karena selama ini hakim tidak terjangkau oleh pengawasan
yang bersifat eksternal.
Sentralisasi dan Unitarisme Menjadi Desentralisasi dan Pluralisme
Walaupun semboyan Negara Republik Indonesia adalah Bhinneka
Tunggal Ika?, akan tetapi praktek selama ini, terutama pada masa Orde Baru
tidak menunjukkan arti semboyan itu. Hal ini nampak pada kebijakan pemerintah
yang selalu menunjukan kebijakan yang unitarian yaitu penyeragaman untuk
seluruh wilayah Indonesia dan kebijakan yang sangat sentralistis. Akibatnya,
adalah terhapusnya masyarakat hukum adat berikut hak-hak adatnya di seluruh
Indonesia serta penyeragaman sistem pemerintahan sampai pada tingkat yang
paling bawah. Demikian juga dengan kebijakan-kebijakan menyangkut daerah yang
sangat sentralistis. Daerah tidak berdaya dan hanya menjalankan
kebijakan-kebijakan yang terpusat.
Perubahan UUD ini, menggeser model kebijakan yang unitarisme dan
sentralistis menjadi kebijakan desentralistis dan lebih menghormati pluralisme.
Hal ini nampak pada perubahan pasal 18 UUD 1945. Dalam perubahan ini dihormati
dan diperhatikan adanya kekhususan dan keragaman dari berbagai daerah di
Indonesia. Jaminan pengaturan yang adil atas hubungan keuangan, pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya antara pemerintah pusat dengan
pemerintahan daerah (pasal 18A ayat (2)), pengakuan atas satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa (pasal 18B ayat (1))
serta pengakuan atas masyarakat hukum adat beserta hak-hak adatnya yang masih
hidup (pasal 18B ayat (2)).
Prinsip desentralisasi yang dianut dalam UUD ini, nampak jelas pada
pemberian asas otonomi dan asas tugas pembantuan kepada daerah untuk mengurus
pemerintahannya sendiri. Pada saat yang sama, daerah juga diberikan kewenangan
untuk menetapkan peraturan-peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk
melaksanakan asas otonomi dan asas tugas pembantuan itu.
Jaminan Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum
Untuk menjamin tegaknya Hak Asasi Manusia (HAM), sebagai sebuah pilar
negara hukum, UUD mengatur mengenai HAM ini dalam satu bab tersendiri yaitu bab
XA, dengan 10 pasal serta 24 ayat. Rumusan mengenai HAM dalam UUD ini sangat
lengkap yang mencakup seluruh aspek HAM yang diakui secara universal.
Pembatasan atas pelaksanaan HAM hanya dapat ditetapkan dengan undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak
dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam
masyarakat demokratis.
Mengakomodir Sistem Hankamrata
Perubahan ini ini juga mencakup penyempurnaan dalam pengaturan mengenai
pertahanan dan keamanan negara dengan mengokomodir sistem pertahanan dan
keamanan rakyat semesta yang selama ini dianut dalam sistem pertahanan dan
keamanan kita sebagaimana tertuang dalam pasal 39 ayat (2). Ketentuan ini
menegaskan bahwa usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui
sistem pertahanan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat,
sebagai kekuatan pendukung, dimana TNI sebagai alat negara yang bertugas
mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara dan
POLRI sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat
bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum.
Mempertegas Arah Pembangunan Pendidikan dan Kebudayaan Nasional
Perubahan ini juga menegaskan tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam
bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan nasional. Pemerintah wajib
membiayai pendidikan dasar bagi setiap warga negara. Dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa Pemerintah bertanggung jawab untuk mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang bertujuan untuk
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia.
Untuk menjamin percepatan bagi kemajuan pendidikan dan pencerdasan
kehidupan bangsa, maka UUD menetapkan anggaran minimal yang harus disediakan
untuk anggaran pendidikan yaitu 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara
dan anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Di samping itu, pemerintah juga memiliki tanggung jawab untuk memajukan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan
persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia,
memajukan kebudayaan nasional dengan menjamin kebebasan masyarakat untuk
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya, serta menghormati dan
memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Mengakomodir Demokrasi Ekonomi dan Pembangunan Berkelanjutan
Perubahan ini juga menyempurnakan arah pembangunan dan sistem ekonomi
nasional yang semula hanya menekankan pada sistem perekonomian sebagai usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan, menjadi sistem ekonomi yang
diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional (pasal 31
ayat (4)).
Dengan perubahan ini, diakomodir enam asas penting dalam pembangunan
ekonomi yaitu: demokrasi ekonomi, prinsip kebersamaan, prinsip efisiensi
berkeadilan, prinsip berkelanjutan, prinsip berwawasan lingkungan, prinsip
kemandirian serta prinsip menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.
Kesimpulan
Banyak sekali paradigma politik baru setelah perubahan UUD ini. Paling
tidak ada sepuluh paradigma yang dapat dikemukakan dari perubahan UUD ini,
yaitu :
Prinsip check and balances dalam hubungan antar lembaga negara;
Penguatan sistem pemerintahan demokratis;
Mengukuhkan prinsip kedaulatan rakyat;
Menganut prinsip negara konstitusionalisme;
Penguatan prinsip negara hukum dan penghormatan atas Hak Asasi Manusia;
Pendekatan fungsional dan efisiensi dalam penataan lembaga-lembaga negara,
seperti pembubaran Dewan Pertimbangan Agung (DPA);
Jaminan atas pluralisme;
Desentralisasi pemerintahan;
Peranan negara dalam memajukan pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebuadayaan
nasional; serta
Asas demokrasi ekonomi dan pembangunan berkelanjutan.
Sementara itu prinsip Ketuhanan yang Maha Esa sebagai dasar negara tetap
dipertahankan di samping prinsip kemanusiaan, negara kesatuan, keadilan sosial
serta permusyawaratan yang tertuang dalam pembukaan tetap dipertahankan.
Perubahan paradigma UUD ini harus membawa perubahan pola pikir, perubahan
kultur dari seluruh aparat negara serta perubahan berbagai peraturan perundang-undangan
yang tidak lagi sesuai dengan berbagai paradigma baru ini.
No comments:
Post a Comment