Oleh : Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA
Babak baru dalam sejarah
perjuangan bangsa muncul sejalan dengan berakhirnya pemerintahan Orde Lama.
Sebuah kekuatan baru muncul dengan tekad melaksanakan Pancasila dan UUD 45
secara murni dan konsekwen. Semangat tersebut muncul berdasarkan pengalaman
sejarah dari pemerintahan sebelumnya yang telah menyelewengkan Pancasila serta
menyalahgunakan UUD 45 untuk kepentingan kekuasaan. Dari embrio inilah dibangun
suatu tatanan Pemerintahan yang disebut Ode Baru. Nama itu dipilih untuk
menunjukan bahwa orde ini merupakan tatanan hidup berbangsa dan bernegara yang
bertujuan mengoreksi pemerintahan masa lalu dengan janji melaksanakan Pancasila
dan UUD 45 secara murni dan konsekwen.
Salah satu agenda besar adalah
menghilangkan kotak-kotak ideologi politik dalam masyarakat yang menjadi
warisan masa lalu dan membangun sistem kekuasaan yang berorientasi kepada
kekaryaan. Ideologi kekaryaan ini dikumandangkan untuk membedakan secara lebih
jelas dengan pemerintahan sebelumnya yang hanya dianggap bermain pada tataran
ideologis, tanpa sesuatu karya yang nyata bagi rakyat banyak.
Untuk itu diperlukan stablitas
politik sebagai cara melaksanakan karya-karya yang dianggap secara kongkrit
dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Salah satu upaya dalam tataran politik
misalnya adalah menciptakan sistem politik yang menegarakan semua organisasi
sosial dan politik dengan tujuan agar tercapai stabilitas politik. Politik yang
stabil dibutuhkan untuk membangun perekonomian yang kacau akibat
ketidakstabilan politik masa lalu. Upaya tersebut diawali oleh pemerintah Orde
Baru dengan menata struktur politik berdasarkan UUD 45 dan mencoba membuat garis
pemisah yang jelas antara apa yang disebut supra-struktur politik (kehidupan
politik pada tataran negara) dan infra-struktur politik (kehidupan politik pada
tataran masyarakat). Dalam dimensi supra-struktur politik, lembaga-lembaga
negara secara formal-struktural ditata sehingga hubungan dan kewenangan menjadi
lebih jelas dibanding dengan struktur kelembagaan kekuasaan pada masa Orde
Lama.
Sementara itu, dalam perspektif
politik kemasyarakatan pemerintah Orde Baru melakukan restrukturisasi kehidupan
kepartaian, dengan terlebih dahulu mendirikan organisasi kekaryaan dengan nama
Golongan Karya (Golkar) yang merupakan gabungan dari berbagai macam organisasi
masyarakat. Organisasi kekaryaan tersebut ikut pemilihan umum dan memperoleh
kemenangan lebih dari 60% dari popular vote. Kemenangan tersebut di samping
karena Golkar dijagokan oleh pemerintah, masyarakatpun sudah jenuh dengan
permainan politik para elit yang dirasakan tidak pernah mengerti kebutuhan
hidup mereka sehari-hari. Pada tahun-tahun berikutnya, pemilu lebih merupakan
seremoni dan pesta politik elit dari pada kompetisi politik. Pemilu yang
berlangsung secara rutin dan diatur serta diselenggarakan oleh negara memihak
kepentingan penguasa, sehingga sebagaimana diketahui partai yang berkuasa
selalu memperoleh kemenangan sekitar 60 persen dari jumlah pemilih dalam setiap
pemilihan umum.
Sejalan dengan semakin dominannya kekuatan negara, nasib Pancasila dan UUD 45 tidak banyak berbeda bila dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya. Kedua pemerintahan selalu menempatkan Pancasila dan UUD ˜45 sebagai benda keramat dan azimat yang sakti serta tidak boleh diganggu gugat. Penafsiran dan implementasi Pancasila sebagai ideologi terbuka, serta UUD 45 sebagai landasan konstitusi berada di tangan negara. Penafsiran yang berbeda terhadap kedua hal tersebut selalu diredam secara represif, kalau perlu dengan mempergunakan kekerasan. Dengan demikian, jelaslah bahwa Orde Baru tidak hanya memonopoli kekuasaan, tetapi juga memonopoli kebenaran. Sikap politik masyarakat yang kritis dan berbeda pendapat dengan negara dalam prakteknya diperlakukan sebagai pelaku tindak kriminal atau subversif.
Dalam pada itu, penanaman
nilai-nilai Pancasila dilakukan secara indoktrinatif dan birokratis. Akibatnya,
bukan nilai-nilai Pancasila yang meresap ke dalam kehidupan masyakat, tetapi
kemunafikan yang tumbuh subur dalam masyarakat. Sebab setiap ungkapan para
pemimpin mengenai nilai-nilai kehidupan tidak disertai dengan keteladanan
serta tindakan yang nyata sehingga Pancasila yang berisi nilai-nilai luhur
bangsa dan merupakan landasan filosofi untuk mewujudkan masyarakat yang adil
dan makmur, bagi rakyat hanyalah omong kosong yang tidak mempunyai makna
apapun. Lebih-lebih pendidikan Pancasila dan UUD 45 yang dilakukan melalui
metode indoktrinasi dan unilateral, yang tidak memungkinkan terjadinya
perbedaan pendapat, semakin mempertumpul pemahaman masyarakat terhadap
nilai-nilai Pancasila.
Cara melakukan pendidikan semacam
itu, terutama bagi generasi muda, berakibat fatal. Pancasila yang berisi
nilai-nilai luhur, setelah dikemas dalam pendidikan yang disebut penataran P4
atau PMP ( Pendidikan Moral Pancasila), atau nama sejenisnya, ternyata justru
mematikan hati nurani generasi muda terhadap makna dari nilai luhur Pancasila
tersebut. Hal itu terutama disebabkan oleh karena pendidikan yang doktriner
tidak disertai dengan keteladanan yang benar. Mereka yang setiap hari berpidato
dengan selalu mengucapkan kata-kata keramat: Pancasila dan UUD 45, tetapi dalam
kenyataannya masyarakat tahu bahwa kelakuan mereka jauh dari apa yang mereka
katakan. Perilaku itu justru semakin membuat persepsi yang buruk bagi para
pemimpin serta meredupnya Pancasila sebagai landasan hidup bernegara, karena
masyarakat menilai bahwa aturan dan norma hanya untuk orang lain (rakyat)
tetapi bukan atau tidak berlaku bagi para pemimpin.
Retorika persatuan kesatuan
menyebabkan bangsa Indonesia yang sangat plural diseragamkan. Uniformitas
menjadi hasil konkrit dari kebijakan politik pembangunan yang unilateral.
Seluruh tatanan diatur oleh negara, sementara itu rakyat tinggal menerima apa
adanya. Gagasan mengenai pluralisme tidak mendapatkan tempat untuk didiskusikan
secara intensif.
Pelajaran yang dapat dipetik
adalah, bahwa persatuan dan kesatuan bangsa yang dibentuk secara unilateral
tidak akan bertahan lama. Pendidikan ideologi yang hanya dilakukan secara
sepihak dan doktriner serta tanpa keteladanan selain tidak akan memperkuat
bangsa bahkan dapat merusak hati nurani dan moral generasi muda. Sebab,
pendidikan semacam itu hanya menyuburkan kemunafikan.
Pengalaman pahit yang pernah
dilakukan pada masa Orde Lama dalam memanfaatkan Pancasila yang hanya retorika
politik dan sebagai instrumen menggalang kekuasaan ternyata diteruskan pada
masa Orde Baru. Hanya bedanya, pada masa Orde Lama Pancasila dimanipulasi
menjadi kekuatan politik dalam bentuk bersatunya tiga kekuatan yang bersumber
dari tiga aliran yaitu nasionalisme, komunisme dan agama; sedangkan pada masa
Orde Baru Pancasila disalahgunakan sebagai ideologi penguasa untuk memasung
pluralisme dan mengekang kebebasan berpendapat masyarakat dengan dalih menjaga
persatuan dan kesatuan bangsa. Pada masa Orde Lama ancaman bangsa dan negara
adalah neo-kolonialisme, pada zaman Orde Baru ancaman terhadap bangsa dan
negara adalah komunisme. Namun pada dasarnya, dalam pespektif politik keduanya
sama dan sebangun yaitu bagaimana menjadikan ideologi Pancasila hanya sebagai
instrumen penguasa agar kekuasaan dapat dipusatkan pada seorang pemimpin.
Hasilnya, pada masa Orde Lama kekuasaan memusat di tangan Pemimpin Besar
Revolusi, pada zaman Orde Baru di tangan Bapak Pembangunan. Kekuasaan yang
semakin akumulatif dan monopolistik di tangan seorang pemimpin menjadikan
mereka juga berkuasa menentukan apa yang dianggap benar dan apa yang dianggap
salah. Ukurannya hanya satu: sesuatu dianggap benar kalau hal itu sesuai dengan
keinginan penguasa, sebaliknya sesuatu dianggap salah kalau bertentangan dengan
kehendaknya.
No comments:
Post a Comment