Oleh Sri Sultan HB X
Masalah kepemimpinan Jawa
tampaknya masih sangat relevan untuk dikaji dan diaktualisasikan dalam era
global sekarang. Tentunya, dengan beberapa sentuhan yang benar-benar
disesuaikan dengan tuntutan, tantangan, dan saat yang tepat untuk penerapannya.
Falsafah Kepemimpinan Jawa
sendiri sebenarnya dapat kita telaah dari
ajaran Manunggaling Kawula Gusti, yang mengandung dua substansi, yakni
kepemimpinan dan kerakyatan. Hal ini dapat ditunjukkan dari perwatakan
patriotis Sang Amurwabumi (gelar Ken Arok) yang menggambarkan sintese sikap
bhairawa-anoraga atau 'perkasa di luar, lembut di dalam'.
Hal ini dimanifestasikan dalam
sikap yang selalau menunjuk dan berakar ke bumi, atau bhumi sparsa mudra.
Intinya adalah kepemimpinan yang berorientasi kerakyatan yang memiliki komitmen
setia pada janji, berwatak tabah, kokoh, toleran, selalu berbuat baik, dan
sosial.
Dalam sebuah seminar tentang
Kepemimpinan di Milenium III, beberapa waktu lalu, saya pernah memaparkan prinsip-prinsip
kepemimpinan Sultan Agung, diungkapkan lewat Serat Sastra Gendhing, yang memuat
tujuh amanah.
Butir pertama, Swadana
Maharjeng-tursita, seorang pemimpin haruslah sosok intelektual, berilmu, jujur,
dan pandai menjaga nama, mampu menjalin
komunikasi atas dasar prinsip kemandirian.
Kedua, Bahni -bahna Amurbeng-
jurit, selalu berda di depan dengan memberikan keteladanan dalam membela
keadilan dan kebenaran.
Ketiga, Rukti-setya Garba-rukmi,
bertekad bulat menghimpun segala daya dan potensi guna kemakmuran dan
ketinggian martabat bangsa.
Kelima, Gaugana- Hasta,
mengembangkan seni sastra, seni suara, dan seni tari guna mengisi peradapan
bangsa.
Keenam, Stiranggana- Cita,
sebagai lestari dan pengembang budaya, pencetus sinar pencerahan ilmu, dan
pembawa obor kebahagiaan umat manusia.
Ketujuh Smara bhumi Adi
-manggala, tekad juang lestari untuk menjadi pelopor pemersatu dari pelbagai
kepentingan yang berbeda-beda dari waktu ke waktu, serta berperan dalam
perdamaian di mayapada.
Ada juga ajaran kepemimpinan yang
lain, misalnya, Serat Wulang Jayalengkara yang menyebutkan, seorang penguasa
haruslah memiliki watak Wong Catur (empat hal), yakni, retna, estri, curiga,
dan paksi. Retna atau permata, wataknya adalah pengayom dan pengayem,
karena khasiat batu permata adalah untuk
memberikan ketenteraman dan melindungi diri.
Watak estri atau wanita adalah
berbudi luhur, bersifat sabar, bersikap
santun, mengalahkan tanpa kekerasan atau pandai berdiplomasi. Sedangkan curiga atau keris, seorang pemimpin
haruslah memiliki ketajaman olah pikir dalam menetapkan policy dan strategi di
bidang apapun.
Terakhir simbol paksi atau
burung, mengisyaratkan watak yang bebas terbang kemanapun, agar dapat bertindak
independen tidak terikat oleh
kepentingan satu golongan, sehingga pendapatnya pun bisa menyejukkan semua
lapisan masyarakat.
Ini sekadar menunjukkan contoh,
betapa kayanya piwulang para leluhur,
selain yang sudah teramat masyur, yan termuat dalam episode Astha-
Brata. Atau yang lain, kepemimpinan ideal berwatak Pandawa Lima, yang dikawal
dengan kesetiaan dan keikhlasan seorang sosok Semar dan punakawan lainnya, anak
Semar.
Di mana, deskripsi, derivasi dan
penjabaran serta aplikasinya dalam suatu kepemimpinan aktual mengundang kajian
para budayawan dan cendekiawan kita.
Sementara, untuk memahami
keberadaan kita sekarang, mungkin ada baiknya jika membuka lembaran babad
Giyanti, tatkala Pangeran Mangkubumi sebelum jumeneng Sri Sultan Hamengku
Buwono I, bergerilya di kawasan Kedu dan Kebanaran, pernah berujar secara
bersahaja, yang dikutip dalam Babad Giyanti, Satuhune Sri Narapati Mangunahnya
Brangti Wijayanti.
Ucapan itu menunjukkan keprihatinan
beliu, bahwa kultur barat sebagai akses gencarnya politik kolonialisme Belanda
yang mencekik, niscaya akan membuat raja-raja Jawa terkena demam asmara dan
lemah lunglai tanpa daya.
Keadaan ini harus dihadapi dengan
wijayanti, untuk bisa berjaya dan tampil sebagai pemenang. maka dianjurkannya,
puwarane sung awerdi, gagat-gagat- wiyati, untuk menjadi pemenang, seorang Raja
haruslah meneladani sikap tulus tampa pamrih, agar bisa menyambut cerahnya hari
esok yang laksana biru nirmala.
Ungkapan ini rasanya amat relevan
dengan keadaan sekarang ini, karena ada paralelisme histori, di saat kita
menghadapi hantaman derasnya arus globalisasi, yang mengharuskan kita untuk
tidak hanya berpangku tangan, melainkan harus bersiap diri untuk lebih
meningkatkan kualitas dalam semua aspek kehidupan.
Harus eling lan waspada
menghadapi berbagai godaan dan cobaan di zaman kalatidha ini, di mana banyak
hal yang diliputi oleh keadaan yang serba tida-tida, penuh was-was, keraguan,
dan ketidakpastian.
Dalam sebuah seminar tentang
kepemimpinan, saya juga pernah mengungkapkan bahwa budaya Jawa masih memegang
peran strategis dalam strategi penyiasatan kultural. karennya, 'perebutan
lahan' di atasnya sulit dihindarkan.
Sering terjadi benturan kepentingan antara hegemoni kekuasaan kultural dari berbagai bentuk
intervensi.
Dalam perbenturan itu,
nilai-nilai budaya Jawa sering sulit ditangkap. terlebih yang bersifat
immateriil, misalnya kawruh jiwa, sebuah potret
Ki Ageng Suryomentaram dan Raden Ngabehi Ranggawarsita yang begitu kabur di hadapan generasi kontemporer.
Jika membuka khasanah budaya
Jawa, serta Niti Raja Sasana, misalnya, untuk mempertahankan kewibawaan di mata
rakyat, setiap pemegang kekuasaan haruslah satyawacana atau 'satunya kata
dengan perbuatan'.
Apalagi karena sekarang ini, terlalu banyak keteladanan verbal ketimbang keteladanan aktual. Demikian juga, lebih sering kita mendengar ungkapan simbolik daripada transparansi informasi. Karena sekarang ini banyak dari kita, baik penguasa maupun masyarakat, senantiasa mencari makna-makna simbolik di hampir segala peristiwa.
Sampai batas tertentu simbolisme
itu perlu dan baik, asal tidak over simbolisasi yang tidak mengakar pada
realitas. Karena hal ini tidak akan melahirkan tindakan guna mencapai makna
yang nyata dari simbol-simbol yang kita ciptakan sendiri itu. Kita menaruh
kekhawatiran besar, jika kemudian yang menjadi penting adalah ungkapan-ungkapan
simbolik itu sendiri, terutama dari pemimpin yang menjadi panutan perilaku
budaya masyarakat.
Sejalan dengan proses dialektika,
di mana selalu terjadi penggeseran nilai-nilai zaman, maka apa yang terungkap
pada masa-masa yang kemudian, adalah terbentuknya sintesa-sintesa baru tentang
konsep kepemimpinan dalam suatu setting sistem kenegaraan yang amat berbeda
dengan masa Mataran dulu.
Namun kita tetap mendambakan
sosok kepemimpinan yang melekat pada dirinya kesempurnaan karakter seorang
Satria Pinandhita, yang mungkin hanya dapat kita raih melalui mimpi-mimpi kita.
Dan memang, sungguh kita sedang
berada diujung ajalan, atau dipermuaan jalan baru, yang mungkin saja masih
pajang untuk bisa mendapatkan saripati manajemen dan kepemimpinan model Jawa
yang bernuansa modern untuk bisa diterapkan.
(Sumber : Buku Sabda Ungkapan
Hati Seorang Raja, Penerbit PT. BP
Kedaulatan Rakyat)
Falsafah Islam,Jawa dan Kejawen
JAWA dan kejawen seolah tidak
dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kejawen bisa jadi merupakan suatu sampul
atau kulit luar dari beberapa ajaran yang berkembang di Tanah Jawa, semasa
zaman Hinduisme dan Budhisme. Dalam perkembangannya, penyebaran islam di Jawa
juga dibungkus oleh ajaran-ajaran terdahulu, bahkan terkadang melibatkan aspek
kejawen sebagai jalur penyeranta yang baik bagi penyebarannya. Walisongo
memiliki andil besar dalam penyebaran islam di Tanah Jawa. Unsur-unsur dalam
islam berusaha ditanamkan dalam budaya-budaya jawa semacam pertunjukan wayang
kulit, dendangan lagu-lagu jawa , ular-ular ( putuah yang berupa filsafat),
cerita-cerita kuno, hingga upacara-upacara tradisi yang dikembangkan,khususnya
di Kerjaan Mataram (Yogya/Solo).
Dalam pertunjukan wayang kulit
yang paling dikenal adalah cerita tentang Serat Kalimasada (lembaran yang
berisi mantera/sesuatu yang sakral) yang cukup ampuh dalam melawan segala
keangkaramurkaan dimuka bumi. Dalam cerita itu dikisahkan bahwa si pembawa
serat ini akan menjadi sakti mandraguna. Tidak ada yang tahu apa isi serat ini.
Namun diakhir cerita, rahasia dari serat inipun dibeberkan oleh dalang. Isi
serat Kalimasada berbunyi "Aku bersaksi tiada Tuhan Selain Allah dan Aku
bersaksi Muhammad adalah utusan-Nya" ,isi ini tak lain adalah isi dari
Kalimat Syahadat.
Dalam pertunjukan wayangpun sang
wali selalu mengadakan di halaman masjid, yang disekelilingnya di beri parit
melingkar berair jernih. Guna parit ini tak lain adalah untuk melatih para
penonton wayang untuk wisuh atau mencuci kaki mereka sebelum masuk masjid.
Simbolisasi dari wudu yang disampaikan secara baik.
Dalam perkembangan selanjutnya,
sang wali juga menyebarkan lagu-lagu yang bernuansa simbolisasi yang kuat. Yang
terkenal karangan dari Sunan Kalijaga adalah lagu Ilir-Ilir. Memang tidak semua
syair menyimbolkan suatu ajaran islam, mengingat diperlukannya suatu keindahan
dalam mengarang suatu lagu. Sebagian arti yang kini banyak digali dari lagu ini
di antaranya :
Tak ijo royo-royo tak senggoh
penganten anyar : Ini adalah sebuah diskripsi mengenai para pemuda, yang
dilanjutkan dengan,
Cah angon,cah angon, penekna
blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekna kanggo seba mengko sore : Cah angon adalah
simbolisasi dari manusia sebagai Khalifah Fil Ardh, atau pemelihara alam bumi
ini (angon bhumi). Penekno blimbing kuwi ,mengibaratkan buah belimbing yang
memiliki lima segi membentuk bintang. Kelima segi itu adalah pengerjaan rukun
islam (yang lima) dan Salat lima waktu. Sedang lunyu-lunyu penekno , berarti,
tidak mudah untuk dapat mengerjakan keduanya (Rukun islam dan salat lima waktu)
,dan memang jalan menuju ke surga tidak mudah dan mulus. Kanggo sebo mengko
sore, untuk bekal di hari esok (kehidupan setelah mati).
Mumpung padhang rembulane,
mumpung jembar kalangane : Selagi masih banyak waktu selagi muda, dan ketika
tenaga masih kuat, maka lakukanlah (untuk beribadah).
Memang masih banyak translasi
dari lagu ini, namun substansinya sama, yaitu membumikan
agama,menyosialisasikan ibadah dengan tidak lupa tetap menyenangkan kepada
pengikutnya yang baru.
Dalam lagu-lagu Jawa, ada
gendhing bernama Mijil, Sinom, Maskumambang, kinanthi, asmaradhana,hingga
megatruh dan pucung. Ternyata kesemuanya merupakan perjalanan hidup seorang
manusia. Ambillah Mijil,yang berarti keluar, dapat diartikan sebagai lahirnya
seorang jabang bayi dari rahim ibu. Sinom dapat di artikan sebagai seorang anak
muda yang bersemangat untuk belajar. Maskumambang berarti seorang pria dewasa
yang cukup umur untuk menikah, sedangkan untuk putrinya dengan
gendhingKinanthi. Proses berikutnya adalah pernikahan atau katresnan antar
keduanya disimbolkan dengan Asmaradhana. Hingga akhirnya Megatruh, atau dapat
dipisah Megat-Ruh.Megat berarti bercerai atau terpisah sedangkan ruh adalah Roh
atau jiwa seseorang. Ini proses sakaratul maut seorang manusia. Sebagai umat
beragama islam tentu dalam prosesi penguburannya ,badan jenazah harus dikafani
dengan kain putih, mungkin inilah yang disimbolkan dengan pucung (atau Pocong).
Kesemua jenis gendhing ditata
apik dengan syai-syair yang beragam, sehingga mudah dan selalu pas untuk
didendangkan pada masanya.
Ada banyaknya filsafat Jawa yang
berusaha diterjemahkan oleh para wali, menunjukkan bahwa walisongo dalam
mengajarkan agama selalu dilandasi oleh budaya yang kental. Hal ini sangat
dimungkinkan, karena masyarakat Jawa yang menganut budaya tinggi, akan sukar
untuk meninggalkan budaya lamanya ke ajaran baru walaupun ajaran tesebut
sebenarnya mengajarkan sesuatu yang lebih baik,seperti ajaran agama islam .
Sistem politik Aja Nabrak Tembok (tidak menentang arus) diterapkan oleh para
dunan..
Dalam budaya jawa sebenarnya
sangat sarat dengan filsafat hidup (ular-ular). Ada yang disebut Hasta Brata
yang merupakan teori kepemimpinan, berisi mengenai hal-hal yang
disimbolisasikan dengan benda atau kondisi alam seperti Surya, Candra, Kartika,
Angkasa, Maruta,Samudra,Dahana dan Bhumi.
1.
Surya (Matahari) memancarkan sinar terang sebagai sumber kehidupan. Pemimpin hendaknya mampu menumbuhkembangkan daya hidup rakyatnya untuk membangun bangsa dan negaranya.
Surya (Matahari) memancarkan sinar terang sebagai sumber kehidupan. Pemimpin hendaknya mampu menumbuhkembangkan daya hidup rakyatnya untuk membangun bangsa dan negaranya.
2. Candra
(Bulan) , yang memancarkan sinar ditengah kegelapan malam. Seorang pemimpin
hendaknya mampu memberi semangat kepada rakyatnya ditengah suasana suka ataupun
duka.
3. Kartika
(Bintang), memancarkan sinar kemilauan, berada ditempat tinggi hingga dapat
dijadikan pedoman arah, sehingga seorang pemimpin hendaknya menjadi teladan
bagi untuk berbuat kebaikan
4. Angkasa
(Langit), luas tak terbatas, hingga mampu menampung apa saja yang datang
padanya.Prinsip seorang pemimpin hendaknya mempunyai ketulusan batin dan
kemampuan mengendalikan diri dalam menampungpendapat rakyatnya yang
bermacam-macam.
5. Maruta
(Angin), selalu ada dimana-mana tanpa membedakan tempat serta selalu mengisi
semua ruang yang kosong. Seorang pemimpin hendaknya selalu dekat dengan rakyat,
tanpa membedakan derajat da martabatnya.
6. Samudra
(Laut/air), betapapun luasnya, permukaannya selalu datar dan bersifat sejuk
menyegarkan. Pemimpin hendaknya bersifat kasih sayang terhadap rakyatnya.
7. Dahana
(Api), mempunyai kemampuan membakar semua yang bersentuhan dengannya. Seorang
pemimpin hendaknya berwibawa dan berani menegakkan kebenaran secara tegas tanpa
pandang bulu.
8. Bhumi
(bumi/tanah), bersifat kuat dan murah hati. Selalu memberi hasil kepada yang
merawatnya. Pemimpin hendaknya bermurah hati (melayani) pada rakyatnya untuk
tidak mengecewakan kepercayaan rakyatnya.
Dalam teori kepemimpinan yang
lain ada beberapa filsafat lagi yang banyak dipakai , agar setiap pemimpin
(Khususnya dari Jawa) memiliki sikap yang tenang dan wibawa agar masyarakatnya
dapat hidup tenang dalam menjalankan aktifitasnya seperti falsafah : Aja
gumunan, aja kagetan lan aja dumeh. Maksudnya, sebagai pemimpin janganlah
terlalu terheran-heran (gumun) terhadap sesuatu yang baru (walau sebenarnya amat
sangat heran), tidak menunjukkan sikap kaget jika ada hal-hal diluar dugaan dan
tidak boleh sombong (dumeh) dan aji mumpung sewaktu menjadi seorang
pemimpin.Intinya falsafah ini mengajarkan tentang menjaga sikap dan emosi bagi
semua orang terutama seorang pemimpin.
Falsafah sebagai seorang anak
buahpun juga ada dalam ajaran Jawa, ini terbentuk agar seorang bawahan dapat
kooperatif dengan pimpinan dan tidak mengandalakan egoisme kepribadian,
terlebih untuk mempermalukan atasan, seperti digambarkan dengan, Kena cepet ning
aja ndhisiki, kena pinter ning aja ngguroni,kena takon ning aja ngrusuhi.
Maksudnya, boleh cepat tapi jangan mendahului (sang pimpinan) , boleh pintar
tapi jangan menggurui (pimpinan), boleh bertanya tapi jangan menyudutkan
pimpinan. Intinya seorang anak buah jangan bertindak yang memalukan pimpinan,
walau dia mungkin lebih mampu dari sang pimpinan. Sama sekali falsafah ini
tidak untuk menghambat karir seseorang dalam bekerja, tapi, inilah kode etik
atau norma yang harus di pahami oleh tiap anak buah atau seorang warga negara,
demi menjaga citra pimpinan yang berarti citra perusahaan dan bangsa pada
umumnya. Penyampaian pendapat tidak harus dengan memalukan,menggurui dan
mendemonstrasi (ngrusuhi) pimpinan, namun pasti ada cara diluar itu yang lebih
baik. Toh jika kita baik ,tanpa harus mendemonstrasikan secara vulgar kebaikan
kita, orang pun akan menilai baik.
Dalam kehidupan umum pun ada
falsafah yang menjelaskan tentang The Right Man on the Right Place (Orang yang
baik adalah orang yang mengerti tempatnya). Di falsafah jawa istilah itu
diucapakan dengan Ajining diri saka pucuke Lathi, Ajining raga saka busana.
Artinya harga diri seseorang tergantung dari ucapannya dan sebaiknya seseorang
dapat menempatkan diri sesuai dengan busananya (situasinya). Sehingga tak heran
jika seorang yang karena ucapan dan pandai menempatkan dirinya akan dihargai
oleh orang lain. Tidak mengintervensi dan memasuki dunia yang bukan dunianya
ini ,sebenarnya mengajarkan suatu sikap yang dinamakan profesionalisme, yang
mungkin agak jarang dapat kita jumpai (lagi). Sebagai contoh tidak ada bedanya
seorang mahasiswa yang pergi ke kampus dengan yang pergi ke mal , dan itu baru
dilihat dari segi busana/bajunya , yang tentu saja baju akan sangat
mempengaruhi tingkah laku dan psikologi seseorang.
Masih banyak filsafat Jawa yang
mungkin, tidak dapat diuraikan satu persatu, terlebih keinginan saya bukan
untuk banyak membahas hal ini, mengingat ini bukan bidang saya, namun kami
hanya ingin memberikan suatu wacana umum kepada pembaca, bahwa, banyak sekali
ilmu yang dapat kita gali dari budaya (Jawa) kita saja, sebelum kita menggali
budaya luar terlebih hanya meniru (budaya luar)-nya saja.
No comments:
Post a Comment