PENULIS : BOIP
Angin yang berhembus hari itu menghempaskan butiran-butiran debu, daun-daun kering yang berserakan di sepanjang jalan dan lamunan para pejalan kaki yang tengah duduk bersantai di bangku taman . Awan putih berhiaskan kepak-kepak sayap, tampak seperti mengitari puncak gunung di atas sana. Hamparan hutan, ladang, dan sawah bagaikan permadani mengitari gunung-gunung menjulang tinggi. Sungai yang berkelok-kelok melintasi hutan, ladang sawah dan perkampungan menuju muara hingga ke tepian pantai, kemudian menyatu di luas samudera, menyapa para pendayung sampan yang mendulang ikan. Terlihat begitu mempesona, sempurnanya karya sang Maha Pencipta penguasa jagat raya semesta alam.
Sementara itu, setiap pelataran rumah menjadi terasa begitu akrab bagi siapapun yang berbagi cerita, meski hanya untuk sekedar melepas lelah setelah seharian bekerja keras di luar sana.
Dan di sebuah pelataran rumah dilereng bukit, ketika senja membelai pesisir pantai diiringi deburan ombak saling bersahutan, berkata lelaki kecil menyapa buaian semilir angin yang menerpa ilalang serta dedauan yang bertebaran di sepanjang mata memandang. “Begitu indah sang surya menghiasi senja, begitu mempesona lukisan sang Maha Pencipta”. Ucapnya tanpa sadar dengan penuh ketakjuban. Di pandanginya langit biru berbalut awan putih yang bergerak bagai nyiur melambai di pinggiran pantai. Kemudian disela ketakjubannya, tiba-tiba
perempuan mungil yang sedari tadi memperhatikan dengan sorot mata penuh tanya mengejutkannya. “Itu kan mentari kak, mengapa kakak mengatakan itu surya?”. Tanya perempuan mungil yang tak lain adik dari laki-laki yang dipanggilnya kakak. Sang kakak tersentak kaget. Secara refleks tubuhnya bergerak, dan pandangan matanya tertuju pada sumber suara yang didengarnya. Untuk sejenak ia terdiam, kemudian ia balik bertanya pada adiknya. “Ada apa gerangan adikku, tiba-tiba mengagetkan kakak ?”. Sang adik tak menunggu lama untuk mengulang pertanyaan yang tadi ia lontarkan pada kakaknya.
“Tadi aku tanya mengapa kakak mengatakan itu surya, padahal setahu aku itu kan mentari”, ungkap sang adik berusaha untuk memberikan penjelasan pada sang kakak sambil mengarahkan telunjuknya ke benda bersinar di atas sana.
“Bukan adikku sayang, itu adalah surya. Ibu yang memberitahu kakak bahwa itu surya. Mengapa kau mengatakan itu mentari adikku?”. Tepis sang kakak diakhiri dengan balik bertanya kepada adiknya. Sang adik bergerak perlahan mendekati kakaknya, dan kemudian ia berkata. “Bapak dan Ibu mengatakan padaku ketika aku bertanya bahwa itu adalah mentari”.
Dan di sebuah pelataran rumah dilereng bukit, ketika senja membelai pesisir pantai diiringi deburan ombak saling bersahutan, berkata lelaki kecil menyapa buaian semilir angin yang menerpa ilalang serta dedauan yang bertebaran di sepanjang mata memandang. “Begitu indah sang surya menghiasi senja, begitu mempesona lukisan sang Maha Pencipta”. Ucapnya tanpa sadar dengan penuh ketakjuban. Di pandanginya langit biru berbalut awan putih yang bergerak bagai nyiur melambai di pinggiran pantai. Kemudian disela ketakjubannya, tiba-tiba
perempuan mungil yang sedari tadi memperhatikan dengan sorot mata penuh tanya mengejutkannya. “Itu kan mentari kak, mengapa kakak mengatakan itu surya?”. Tanya perempuan mungil yang tak lain adik dari laki-laki yang dipanggilnya kakak. Sang kakak tersentak kaget. Secara refleks tubuhnya bergerak, dan pandangan matanya tertuju pada sumber suara yang didengarnya. Untuk sejenak ia terdiam, kemudian ia balik bertanya pada adiknya. “Ada apa gerangan adikku, tiba-tiba mengagetkan kakak ?”. Sang adik tak menunggu lama untuk mengulang pertanyaan yang tadi ia lontarkan pada kakaknya.
“Tadi aku tanya mengapa kakak mengatakan itu surya, padahal setahu aku itu kan mentari”, ungkap sang adik berusaha untuk memberikan penjelasan pada sang kakak sambil mengarahkan telunjuknya ke benda bersinar di atas sana.
“Bukan adikku sayang, itu adalah surya. Ibu yang memberitahu kakak bahwa itu surya. Mengapa kau mengatakan itu mentari adikku?”. Tepis sang kakak diakhiri dengan balik bertanya kepada adiknya. Sang adik bergerak perlahan mendekati kakaknya, dan kemudian ia berkata. “Bapak dan Ibu mengatakan padaku ketika aku bertanya bahwa itu adalah mentari”.
Senyumpun menghiasi perbedaan antara kedua bocah kecil di pelataran rumah tepian bukit senja hari kala itu. Demi keindahan yang terpancar dari langit, dan demi tali persaudaraan yang mengikat, sang kakak berkata pada adiknya.
“Ketika pagi tiba, saat ayam jantan melengkingkan nyanyiannya, dimana dunia terasa benderang karenanya, orang menyebut itu fajar, meski tak sedikit orang menyebutnya mentari pagi. Sinarnya senantiasa memberikan kehangatan bagi makhluk di bumi ini. Manakala siang terik menyengat, banyak orang menyebutnya matahari. Dan ketika hari mulai mereda, dimana senja tiba, orang mengatakan bahwa itulah surya”.
“Ketika pagi tiba, saat ayam jantan melengkingkan nyanyiannya, dimana dunia terasa benderang karenanya, orang menyebut itu fajar, meski tak sedikit orang menyebutnya mentari pagi. Sinarnya senantiasa memberikan kehangatan bagi makhluk di bumi ini. Manakala siang terik menyengat, banyak orang menyebutnya matahari. Dan ketika hari mulai mereda, dimana senja tiba, orang mengatakan bahwa itulah surya”.
Demi pendapatnya, sang adik bertutur kata pada kakaknya.
“Mengapa kakak memberi beberapa nama hanya untuk satu benda yang kuyakini bahwa itu hanyalah mentari?”.
“Mengapa kakak memberi beberapa nama hanya untuk satu benda yang kuyakini bahwa itu hanyalah mentari?”.
Bergegas langkah kaki bocah-bocah kecil menghampiri bapak dan ibu mereka. Diraihnya tangan-tangan bapak dan ibunya untuk kemudian mengajak keduanya menuju pelataran rumah. Dan demi keramahtamahan serta santun kata yang terucap, bertanya sang adik kepada bapaknya.
“Apakah yang bersinar di atas itu surya ataukah mentari, seperti yang kuyakini?”.
“Apakah yang bersinar di atas itu surya ataukah mentari, seperti yang kuyakini?”.
Hanya ketenangan serta keteduhan yang sanggup meredakan kegelisahannya. Hanya keikhlasan yang mampu meredam keresahan yang menggeliat di sanubarinya. Hanya rasa tulus yang mampu menuturkan penjelasan atas ketidaktahuannya.
Rupanya kedua orang tua bocah kecil ini diam-diam menyimak apa yang menjadi topik pembicaraan anak-anaknya, dan untuk pertanyaan sang anak ia pun berupaya sebijak mungkin memberikan penuturannya.
“Apa yang dikatakan kakakmu benar, dan apa yang dikatakan adikmu juga betul nak. Percayalah, serta yakini apa yang kau yakini”.
“Apa yang dikatakan kakakmu benar, dan apa yang dikatakan adikmu juga betul nak. Percayalah, serta yakini apa yang kau yakini”.
Kali ini, perempuan mungil ini bertanya pada ibunya dengan penuh harap mendapat jawaban yang melegakannya.
“Dinamakan apakah benda bercahaya itu jika berada di bawah sini bu?”.
Sang ibu menatap anaknya penuh kasih sayang, dan untuk anak-anaknya sang ibu memberikan jawabannya.
“Jika kita membakar arang, maka akan kita lihat bara api. Nah, seperti itulah benda bersinar itu. Jadi jika di bawah sini dinamakan bara api, seperti halnya surya. Hanya saja antara surya dan mentari memiliki perbedaan. Coba nanti kalian tanyakan pada gurumu di sekolah, apa perbedaan yang ibu maksudkan!”.
“Dinamakan apakah benda bercahaya itu jika berada di bawah sini bu?”.
Sang ibu menatap anaknya penuh kasih sayang, dan untuk anak-anaknya sang ibu memberikan jawabannya.
“Jika kita membakar arang, maka akan kita lihat bara api. Nah, seperti itulah benda bersinar itu. Jadi jika di bawah sini dinamakan bara api, seperti halnya surya. Hanya saja antara surya dan mentari memiliki perbedaan. Coba nanti kalian tanyakan pada gurumu di sekolah, apa perbedaan yang ibu maksudkan!”.
Sementara sang kakak yang dari hanya diam, kali ini bertanya pada ibunya tentang matahari.
“Dinamakan apakah matahari jika berada di bawah sini bu?”.
Sang ibu tersenyum menatap anak laki-laki dan anak perempuannya, dengan penuturan yang lembut ibu menjawab.
“Ketahuilah nak, benda bersinar itu jika di bawah sini dinamakan lampu petromak”.
Secara bersamaan anak-anak mereka bergumam atas jawaban dari ibunya.
“Ehmmm….. lampu petromak”.
“Dinamakan apakah matahari jika berada di bawah sini bu?”.
Sang ibu tersenyum menatap anak laki-laki dan anak perempuannya, dengan penuturan yang lembut ibu menjawab.
“Ketahuilah nak, benda bersinar itu jika di bawah sini dinamakan lampu petromak”.
Secara bersamaan anak-anak mereka bergumam atas jawaban dari ibunya.
“Ehmmm….. lampu petromak”.
Seorang dari anak-anak mereka melangkah maju dan kembali bertanya.
“Apakah surya yang dikatakan bapak sama dengan surya yang di maksudkan oleh ibu?”.
Suasana pun hening sejenak. Dua pasang mata saling memandang. Kemudian ibu berucap menyibak keheningan yang sempat singgah sekilas waktu.
“Ibu belum membicarakan hal itu dengan bapakmu nak. Suatu hari nanti setelah kami membicarakan hal itu, kami pasti akan memberitahukanmu”.
“Apakah surya yang dikatakan bapak sama dengan surya yang di maksudkan oleh ibu?”.
Suasana pun hening sejenak. Dua pasang mata saling memandang. Kemudian ibu berucap menyibak keheningan yang sempat singgah sekilas waktu.
“Ibu belum membicarakan hal itu dengan bapakmu nak. Suatu hari nanti setelah kami membicarakan hal itu, kami pasti akan memberitahukanmu”.
Kedua bocah kecil saling memandang dengan sorot mata penuh tanya. Keningnya berkerut keheranan. Mungkin dalam hatinya masing-masing bertumpuk segudang pertanyaan atas penuturan ibunya.
Senjapun semakin temaram. Semilir angin menghantarkan berpasang-pasang mata memandang surya yang seakan tenggelam ke dalam samudera, sunset di tepian malam.
Judul Awal : Cerita Senja
Ditulis di Pelabuhanratu, pada bulan September 2006
Dibarukan di Cibadak. pada tanggal 04 Januari 2016
No comments:
Post a Comment