Tuesday, February 16, 2016

AKU HANYA INGIN BERNYANYI






Penulis : Boip


Suatu hari di depan gerbang sebuah terminal, dengan riangnya lelaki kecil bermain. Sambil bermain ia pun mengalunkan sebuah lagu yang mungkin sudah tak asing lagi ditelinga banyak orang. “Bintang kecil dilangit yang biru, amat banyak menghias angkasa, aku ingin….”. Nyanyian lelaki kecil ini terhenti tiba-tiba. Ia terheran-heran menatap seseorang dalam kerumunan yang dengan berang membentaknya. “Jangan pernah bermimpi untuk berharap terbang keangkasa. Sudah, sebaiknya kau pergi saja dari sini, cari tempat lain untuk kau bermimpi !”. Orang itu menganggat tangan dan mengacungkan telunjuknya, sementara lelaki kecil ini hanya terdiam. Wajahnya tertunduk layu, tak bergairah. Di ayunkan kakinya pergi menjauh, sejauh ia bisa pergi untuk melupakan apa yang baru saja terjadi.
Malam semakin larut, seiring waktu yang bergulir tanpa henti. Angin bertiup, dan nafasnya menghempaskan daun-daun kering yang berserakan di bawah pohon pinggiran jalan setapak, tempat orang berlalu lalang. Sementara itu di seberang jalan, sungai bergemericik bagai nyanyian hujan ketika senja datang menyapa selamat malam.
Selepas isya, di depan pelataran rumah mewah, lelaki kecil berdiri memandang parade kaki lima yang tak jauh dari tempat ia berdiri. Dipetiknya senar-senar gitar perlahan, dan ia pun bernyanyi. “Ambilkan bulan bu, ambilkan bulan bu, yang slalu bersinar di…”.
Tiba-tiba seseorang menghampiri dan menghentikan nyanyian bocah kecil tersebut. Dengan kedua tangan dipinggang, orang tersebut membentaknya. “Berisik !!. Teriak-teriak seenaknya. Mending kalau suaramu bagus, sana ambil sendiri. Enak saja nyuruh-nyuruh orang sembarangan, memangnya kamu ini siapa ?!”.
Lelaki kecil ini diam terpaku. Matanya sekilas menatap orang yang memakinya, dan kemudian dengan nada lirih ia berucap. “Aku bukan siapa-siapa. Maaf seandainya telah mengganggu ketenangan waktu anda”. Suasana hening sejenak, binatang malam pun terdiam menyaksikan adegan tersebut. Lelaki kecil ini tertunduk, diam tanpa kata. Hanya keheningan dan kebisuan membungkus suasana malam itu. Orang dihadapan lelaki kecil kembali berkata memecah kesunyian. “Nah sudah begitu, diam !”.
Lelaki kecil ini mengangkat kepalanya perlahan seraya berucap kata maaf berulang kali, kemudian mohon pamit untuk pergi menjauh. Dinginnya angin malam yang terus berhembus semakin menusuk sendi-sendi keheningan dan kebisuan suasana kala itu. Lelaki kecil larut dalam kesedihannya. Namun demikian masih tampak ketegaran di sorot matanya yang tajam menatap jauh kedepan. Menatap bintang-bintang yang bertaburan di angkasa, menatap bulan yang benderang tersenyum menggoda, menatap lamunannya dengan penuh pengharapan. Terucap beberapa kata dari mulutnya yang diam terkatup. Setengah mengguman ia berkata pada dirinya, berkata pada Tuhannya. “Semoga aku dapat tetap hidup untuk mempertahankan kehidupanku. Semoga Engkau berkenan memayungi hidupku, memayungiku dengan segala kuasa-Mu”.

Embun pagi yang menetes di ujung dedaunan menyegarkan setiap mata yang memandang. Burung-burung berkicau mengucap salam pada mentari yang tersipu malu. Angin berhembus membawa kabar kehidupan kepada setiap yang dihampirinya. Lelaki kecil merapihkan pakaiannya yang lusuh, berbalut seuntai senyum tersungging dibibirnya yang mungil. Digenggamnya angan-angan, di peluknya erat-erat mimpi esok hari yang belum sempat ia singgahi. Melangkah perlahan menelusuri pematang sawah yang luas membentang menuju keinginannya. Di ujung pematang sawah, pemandangan pagi hari terbentang. Manusia pagi berbondong tradisi menjalani hidupnya yang penuh warna. Di seberang terminal ia berdiri, menatap para pengabdi negeri dengan seragam lengkap dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ia bergumam dan bernyanyi menghibur diri.
“Aku seorang kapiten, mempunyai pedang panjang kalau ber….”.

Nyanyiannya terhenti seketika, manakala seseorang dengan jari telunjuk tepat di depan hidung mengobral kata, mencaci makinya dengan keras.
“Dasar anak tak tahu diri. Badan kurus kerempeng, hidung ingusan, ngaku-ngaku seorang kapiten. Coba ngaca dulu sableng, pantes ng’gak?!”.
Lelaki kecil pun keheranan bercampur bingung. Sorot matanya bermakna kata-kata tanya yang seakan tiada ujungnya. Sejenak ia terdiam seolah mentafakuri kenyataan yang tak dimengerti tanpa sepatah katapun terucap darinya. Ia tundukkan wajah sedalam-dalam yang bisa ia lakukan. Jari-jari tangan kirinya mengusap-usap tangan sebelah kanannya. Selang beberapa waktu berlalu, ketika orang yang memakinya berlalu dari hadapannya, ia kembali bernyanyi sambari berjalan.

“Naik kereta api tut tut tut, siapa hendak turut, ke Bandung Sura….”. Dan lagi-lagi seseorang berusaha keras menghentikan langkah kaki dan nyanyian lelaki kecil ini, manakala suaranya yang lantang mengahantam gendang telinga, bahkan mungkin menggores hatinya.
“Hei goblok, apa yang bercokol di otakmu?! Kamu pikir kereta milik nenek moyangmu, yang dengan seenaknya bisa kamu naiki dengan cuma-cuma?!”.
Lelaki kecil ini terhenyak kaget, wajahnya dipenuhi keheranan dan mulutnya menganga mendengar makian tersebut. Sejenak ia terdiam tak bicara. Sementara orang itu masih berdiri tak jauh darinya dengan mata melotot menatap tajam lelaki kecil ini. Ia pun memberanikan diri untuk coba berucap. “Sungguh aku tak bermaksud seperti yang anda sangkakan. Aku hanya ingin bernyanyi. Ya, aku hanya ingin bernyanyi”. Sementara dari arah yang berlawanan seseorang menghampiri mereka. Matanya yang redup menyiratkan kebijakan dalam dirinya. Ia pandangi wajah seseorang yang memaki lelaki kecil, lalu beralih pandangan ke lelaki kecil ini, dan kemudian sebaris kalimat terucap darinya. “Ada apa ini?”. Tanyanya singkat dengan kening sedikit berkerut. Lelaki kecil menjawab, dan mencoba menjelaskan apa yang terjadi. “Aku sedang berjalan dan bernyanyi, tiba-tiba orang ini membentakku, dan ia melarangku untuk bernyanyi”. Orang yang bertanya hanya tersenyum mendapatkan jawaban dari lelaki kecil ini, lalu ia kembali berkata. “Mungkin dia kurang menyukai lagu yang anda nyanyikan. Cobalah nyanyikan lagu yang lain !”. Pintanya dengan ramah. Lelaki kecil ini terdiam sejenak, lalu ia bertanya pada orang tersebut. “Apakah kita sudah merdeka?”.
Yang menerima pertanyaan tampak agak keheranan, namun sebentar kemudian ia tersenyum. Ia pun menjawab dengan tegas.  “Sudah. Kita sudah merdeka !”. Setelah mendapat jawaban, lelaki kecil pun berpamitan untuk pergi. Orang tersebut berjalan mengikuti lelaki kecil ini. Dengan langkah pasti lelaki kecil berjalan menuju terminal. Orang tersebut berjalan mengantarkan si lelaki kecil ini sampai di depan pintu gerbang terminal. Dengan perasaan riang tak terhingga lelaki kecil berjalan memasuki terminal seraya bernyanyi lagu Indonesia Raya, buah karya WR. Supratman.
Diperbaharui pada tanggal 10 Nopember 2009, Judul Asli : Cerita Anak Indonesia, Penulis       : Iip Saripudin.
Dibarukan kembali pada tanggal 04 Januari 2016, dengan Judul Aku Hanya Ingin Bernyanyi, Penulis : Boip
Download file

No comments: